Pentingnya Penanaman Karakter dalam Keluarga
Hakim Pengadilan Negeri Sampang akhirnya menjatuhkan vonis bersalah
kepada MH (17) pelajar SMAN 1 Torjun Sampang yang menganiaya Ahmad Budi
Cahyanto, guru kesenian di sekolah tersebut, hingga tewas, Selasa (6/3).
Pelajar itu dijatuhi vonis 6 tahun penjara. Para majelis hakim sepakat
menyatakan MH terbukti melakukan tindak pidana penganiayaan hingga pembunuhan
sesuai dengan isi Pasal 338 KUHP. Bhirawa (7/3).
Tulisan ini tentu tidak sedang ingin mendiskusikan apakah vonis tersebut
pantas dijatuhkan atau tidak, biarlah itu menjadi wilayah para ahli hukum.
Penulis lebih ingin mengajak semua pihak untuk bisa memetik pesan dari kasus
tersebut agar tragedi memilukan tersebut tidak kembali terulang.
Kejadian yang menimpa salah seorang guru honorer mata pelajaran seni
rupa Ahmad Budi Cahyono, S.Pd. di SMA 1 Torjun, Sampang, Madura pada awal
Februari lalu menjadi tragedi kemanusiaan. Bagaimana tidak, guru yang
seharusnya dihormati sebagaimana orang tua, meninggal di tangan muridnya
sendiri. Sungguh memprihatinkan dan menyentak sisi terdalam hati nurani.
Keberadaan guru di sekolah adalah sebagai pengganti orang tua. Untuk itu
hendaknya dihormati dan ditaati selama dalam koridor kebenaran. Namun, apa yang
terjadi ketika peserta didik sudah tak menghormati bahkan mengancam jiwa
gurunya?
Salah satu tugas dan kewajiban guru adalah menegur ketika muridnya
melakukan kesalahan, penyimpangan, atau tidak mengindahkan peraturan di
sekolah. Proses demikian mencerminkan tanda sayang. Setiap guru menginginkan
muridnya tumbuh menjadi pembelajar sejati. Tidak hanya pintar dalam akademik,
tetapi juga memiliki sikap dan sosial yang baik.
Kepergian Pak Guru Budi meninggalkan perih dan kekhawatiran di dunia
pendidikan. Apa yang ada di benak murid saat menganiaya gurunya sendiri hingga
babak belur? Di mana rasa hormat dan menghargai guru? Apakah dalam keluarganya
tidak pernah tertanam bagaimana cara memberlakukan gurunya? Peristiwa ini
hendaknya menjadi bahan renungan dan evaluasi bersama sehingga kejadian serupa
tidak terulang kembali. Kejadian demi kejadian kriminal yang menimpa guru,
haruskan membuat guru menguasai ilmu bela diri? Bukankah lebih elok jika guru
menguasai jurus ikhlas?
Benarkah urusan pendidikan itu selalu menjadi tanggung jawab lembaga
pendidikan formal, dalma hal ini sekolah? Apakah jika sudah sekolah serta merta
anak menjadi pribadi yang baik? Banyak orang tua yang “pasrah bongkokan” nasip anaknya pada sekolah. Seolah
jika sudah memilihkan sekolah yang baik, “habis perkara”.
Padahal, rumah adalah basis utama pendidikan. Rumah merupakan tempat
pertama kali seorang manusia mendapatkan ilmu dan pengalaman. Hendaklah sebagai
orang tua menanyakan kembali pada diri masing-masing sesebanrnya apa alasan
menyekolahkan anaknya.
Sekolah memang dapat mengembangkan pengetahuan manusia, karena di
sekolah ada banyak guru dengan latar keilmuan yang berbeda-beda. Lain halnya
dengan orang tua yang mungkin hanya menguasai satu atau dua mapel bidang ilmu,
setidaknya ilmu yang dimiliki kedua orang tuanya. Namun demikian, perihal
karakter anak, orang tua haruslah yang pertama kali menanamkannya.
Berikut ini solusi yang bisa ditawarkan untuk menumbuhkembangkan
karakter pada diri anak didik. Ada tiga hal yang saling berkaitan, yaitu
keluarga (dalam hal ini keluarga), sekolah, dan masyarakat. Pertama, pihak
orang tua hendaknya menyadari peran pentingnya sebagai basis utama pendidikan
anaknya. Keberadaan anak adalah sebuah amanah yang kelak dimintai
pertangungjawaban oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Keluarga hendaknya menanamkan
nilai-nilai karakter sejak dini bahkan jauh sebelum memasuki bangku sekolah.
Orang tua tidak bisa memasrahkan begitu saja pendidikan anaknya kepada pihak
sekolah. Bagaimanapun, orang tua adalah guru pertama bagi anaknya.
Istadi (2016: 336-342) dalam buku Mendidik dengan Cinta
mengemukakan bahwa orang tua tak bisa menghindarkan diri sebagai pemikul utama
tanggung jawab pendidikan. Ini adalah tugas keluarga. Lembaga prasekolah dan
sekolah hanya berperan sebagai mitra pembantu. Tugas penting orang tua ini akan
sangat terdukung jika mampu menciptakan suasana rumah menjadi tempat tinggal
sekaligus basis pendidikan. Tugas berat, memang. Namun, ada banyak cara untuk
melakukannya. Rumah sebagai basis pendidikan akan dapat dicapai dengan memperhatikan
hal-hal berikut ini. (1) melengkapi fasilitas pendidikan melalui tempat belajar
yang menyenangkan, media informasi dalam hal ini melalui surat kabar, majalah,
dapat pula denganponsel atau laptop dengan koneksi internet, dan ketersediaan
perpustakaan keluarga. (2) budaya ilmiah misalnya budaya belajar semua anggota
keluarga, jam baca keluarga, gairah berbagi pengetahuan, dan juga gairah rasa
ingin tahu. Tentu saja orang tua harus mencontohkannya. Bukankah guru terbaik
adalah keteladanan?
Kedua, pihak sekolah harus bersinergi dengan pihak keluarga dalam hal
ini orang tua. Sekolah perlu memikirkan cara agar orang tua proaktif menjalin
komunikasi dengan pihak sekolah. Jangan sampai ketika ada masalah pada anak
orang tua malah mengintimidasi gurunya. Hendaknya duduk bersama untuk mencari solusi terbaik. Tentunya
pihak sekolah berharap agar orang tua jangan sungkan menanyakan kabar anak ke
sekolah. Harapan yang ingin diwujudkan adalah apa yang disampaikan guru di
sekolah dan orang tua di rumah akan seiring sejalan serta bahu membahu
mewujudkan karakter pada anaknya. Jika komunikasi dua arah sudah terjadi dengan
baik dan mempunyai pijakan yang sama antara orang tua dan guru maka anak akan
memiliki muara karakter yang sama.
Kisah menarik diceritakan oleh Alifi (2017: 121-122) dalam bukunya Rockstar
Teacher bahwa walimurid di MIT AR-Roihan, Kabupaten Malang mampu
menggerakkan walimurid untuk ambil bagian di kegiatan-kegiatan sekolah.
Walimurid datang ke sekolah tidak hanya untuk urusan antar jemput anaknya atau
sekadar menghadiri pertemuan orang tua seperti pengambilan rapot atau rapat
komite sekolah. Ketika menerima kunjungan studi banding dari luar daerah
misalnya, walimurid bahkan bertindak sebagai guide menjelaskan tiap bagian
sekolah. Dari cara menjelaskan, walimurid tidak lagi sebagai outsider di
sekolah tersebut. Mereka tuntas sekali dalam mengetahui dan memahami
seluk-beluk sekolah. Hanya hal-hal yang berurusan dengan istilah-istilah
akademik—seperti RPP, silabus, dan metode mengajar—saja yang mereka serahkan kepada
guru-guru. Rupanya, ada kiat yang mereka terapkan, yaitu menjalin hubungan yang
intens antara guru-karyawan dan orang tua. Hubungan tersebut layaknya keluarga, bukan
sekadar seperti wali
murid dan sekolah. Aplikasi whatsap
dapat diberdayagunakan. Sekolah pun membentuk paguyuban dan sebulan sekali
pasti berkumpul entah arisan atau kegiatan lainnya.
Ketiga masyarakat hendaknya dapat bertindak sebagai kontrol atas
jalannya pendidikan karakter. Jika terjadi sebuah kasus atau masalah,
masyarakat tidak boleh tinggal diam. Justru masyarakat mempunyai kekuatan yang
lebih besar. Karena keluarga dan sekolah otomatis menjadi bagian dari sebuah
masyarakat. Untuk itu, pihak sekolah perlu menjalin simbiosis mutualisme dengan
pihak keluarga dan masyarakat. Masyarakat perlu dilibatkan dalam
kegitan-kegiatan di sekolah. Pun keluarga sebagai bagian dari masyarakat harus
mendukung apa-apa yang dicanangkan dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat
dalam hal ini kumpulan keluarga perlu memikirkan nasib pendidikan warganya.
Keberadaan RT, PKK, Dasawisma, Pedukuhan perlu dimaksimalkan untuk berperan
secara aktif memikirkan pendidikan dalam rangka menanamkan karakter.
Dengan demikian, pendidikan karakter tidak hanya tanggung jawab guru di
sekolah, tetapi juga keluarga di rumah. Jika setiap keluarga melakukan perannya
dengan baik dalam menanamkan pendidikan karakter, nantinya akan tercipta
masyarakat yang berkarakter. Pada tahapan selanjutnya, masyarakat yang
berkarakter akan membentuk warga negara yang berkarakter. Semoga generasi
penerus bangsa memiliki karakter yang kuat sehingga tidak akan muncul lagi
kasus guru Budi yang lain.
(Tulisan ini pernah dimuat di Koran Bhirawa,
edisi 12 Maret 2018)
Posting Komentar untuk "Pentingnya Penanaman Karakter dalam Keluarga"