Cerpen "Menantu Elektrik"
AKU termenung sedih di dapurku yang sederhana. Sudah
sebulan ini terasa ada yang kurang. Peralatan dapur: ketel,
soblok atau dandang, ceret, wajan, dan panci menganggur. Tak pernah lagi
benda-benda itu bersentuhan dengan api.
Ya,
sejak Yunan anak lelakiku satu-satunya menikah. Aku
sudah tidak bertindak lagi sebagai ratu di dapurku
sendiri. Aku tahu
betul niat Yunan untuk berbakti dengan membuatku lebih santai dalam
keseharian. Dalam artian tidak sibuk dengan ritual dapur.
Masih ingat benar saat Yunan memijitku
dan berucap, “Mbok, nanti kalau aku sudah menikah, aku ingin Mbok bisa lebih
santai, tidak sibuk dengan dapur. Tidak usah memikirkan urusan memasak dan
belanja. Biar istriku saja. Nanti Mbok tinggal duduk manis dan menikmati
hari-hari tua.”
“Selama
ini Mbok juga nggak pernah merasa
sibuk, kok.”
Namun
rupanya kenyataan tak semudah yang diangankan Yunan. Jiwa dan naluri perempuanku
selalu menarik untuk datang ke dapur setiap kali jadwal masak seperti hari-hari
biasanya sebelum sebulan ini.
Aku memang menginginkan Yunan tetap tinggal bersamaku. Aku pun
sudah meniatkan diri menjadi mertua yang baik, yang bisa akrab dengan menantu.
Tidak seperti cerita teman-teman sebayaku yang mengeluhkan perilaku
menantunya. Bagiku hal demikian tidaklah baik. Itulah kenapa aku tak
pernah bercerita pada siapun tentang kerisauanku.
Untuk apa sibuk mencari kelemahan menantu, aku sendiri pun tak luput dari
kekurangan.
Setelah
Yunan menikah, banyak benda-benda ajaib datang ke rumah. Secara
bertahap ada kulkas, mesin cuci, kompor listrik microwave, panci serba
bisa, alat pemanggang, dan blender berdatangan memenuhi rumah. Wah, semua
modern.
“Mbok,
mulai sekarang Simbok ndak usah lagi mencuci atau memasak. Mbok juga
tidak perlu setiap hari belanja ke pasar. Seminggu sekali kula yang akan
belanja ke pasar dan kula taruh di kulkas ini.”
Aku mengangguk-angguk menyimak penuturan menantuku, Maya.
“Sebetulnya
simbok masih kuat kalau hanya jalan kaki belanja ke pasar. Lha wong ming
gur cedhak kok.”
Maya tersenyum, “Iya, sih, Mbok. Tapi kan
kita harus menghemat waktu. Simbok bisa menggunakan waktunya untuk hal lain.
Senam misalnya?”
Aku tidak punya alasan menolak.
“Ini isinya
apa dan buat apa?” Aku mengambil dan menyodorkan salah
satu kaleng.
“Oh,
ini bagian yang saya maksud tadi, Mbok. Biar kita tidak perlu belanja setiap
hari. Ada sarden, kornet, jamur olahan. Dan yang di kulkas bagian atas itu
sayuran kering, Mbok. Ada juga kentang yang tinggal goreng sreng… mateng.” Maya menerangkan
berapi-api.
Pagi
hari seperti biasa, aku bersiap mencuci baju. Maya tergopoh
datang, “Lho, kan kula sampun matur, Simbok ndak usah mencuci.
Ini biar urusan Maya saja. Nanti tahu-tahu bajunya sudah rapi dan wangi. Oke,
Mbok?” Maya memamerkan senyum lesung pipitnya.
Aku mundur melihat Maya sigap memasukkan bajuku, juga
baju-baju kotor lainnya ke dalam mesin. Dituanginya mesin cuci dengan detergen
bentuknya air dan wangi-wangian berwarna buthek.
Semua
kegalauanku itu mencapai puncaknya ketika sarapan pagi. Sebetulnya aku telah membiasakan diri melakukan rutinitas yang berbeda. Aku
selalu meyakinkan diriku sendiri bahwa semua tak lagi sama. Aku mencoba
mencari sisi positifnya. Di saat banyak perempuan lain bergelut dengan dapur, aku malah bisa leyeh-leyeh sambil minum teh dan baca koran. Baca
koran? Iya, sejak sebulan ini selalu ada koran di teras depan rumahku.
Aku selalu mengamati
kebiasaan menantuku. Saat bangun tidur, Maya akan mengambil beras dari tempat penyimpanan beras
yang otomatis. Padahal biasanya aku
hanya menyimpan beras di ember.
Sambil
menguap, Maya mencuci beras. Sekali saja ia membilasnya, katanya biar gizi yang
terkandung di beras tidak ikut luntur. Kemudian berjalan mendekat ke dispenser,
menuang air panas. Biar cepet mateng
jawaban Maya sewaktu aku menanyakan alasannya. Dan benar saja, kurang
dari 30 menit, sudah tercium aroma nasi matang.
Setelah
itu Maya menghidupkan kompor listriknya. Pan tebal segera ia dinaikkan di atas
kompor kemudian ia menuangkan kaleng berisi ikan. Satu tangan mengambil kemangi
dari kulkas, dan satu tangannya yang lain sibuk memerhatikan layar HP.
Maya mencium tangannya pamit kerja, “Kula pamit kerja dulu, Mbok. Nyuwun pangestu.”
“Hati-hati
di jalan, Nduk.”
Perempuan
muda itu tersenyum sambil berjalan tergesa ke depan rumah untuk naik kendaraan
yang dipesannya via online. Yunan sendiri berangkat lebih
siang karena memang jadwal kerjanya siang lagi pula tempat kerjanya tidak
begitu jauh dari rumah.
Aku sebetulnya sungkan ketika hendak menyampaikan pada Yunan
bahwa lidahku tak biasa makan ikan seperti yang tadi pagi disajikan Maya. Yunan tersenyum.
“Tenang
saja, Mbok. Nanti akan terwujud keinginan Mbok.”
Aku seret kakiku menuju halaman untuk
menyapu. Tubuhku tidak biasa diam tenang.
“Mbok,
saya pergi sebentar. Simbok tunggu di sini.”
Tak
sampai 45 menit, Yunan sudah pulang dengan menenteng bungkusan plastik kresek hitam. Rupanya dua bungkus nasi
rames dengan lauk wader goreng kesukaanku.
“Kamu
beli, Le?”
“Iya,
Mbok,” jawabnya malu-malu.
“Kalau
istrimu tahu…”
“Kita
makan dulu saja, Mbok. Saya mendadak lapar ini,” kelakar anaknya.
Aku menghela napas berat. Aku paham sekarang. Yunan pun
tak suka makanan serba instan. Sebetulnya masih ada ganjalan yang hendak aku sampaikan.
Tapi bisa nanti-nanti batinku.
Malam
ini menunya sop. Maya mencemplungkan sayuran beku yang ada di kulkas. Ada
buncis, jagung manis, juga wortel. Sekiranya sudah mendidih, lalu ia
mencemplungkan bumbu instan.
“Selesai.”
Maya memberi kode dari dapur agar aku dan Yunan
makan malam.”
Bisa
ditebak, Aku dan Yunan makan dengan cepat. Berharap cepat habis. Hanya Maya
yang kelihatan menikmatinya.
Paginya.
“Mbok, kita sarapan roti saja, ya? Biar ndak
bosen.” Maya segera menawarkan pingin
roti rasa apa. Lalu mengoleskan selai pilihanku.
Maya
juga menawarkan suaminya yang buru-buru dijawab, akan sarapan di kantor.
Temannya akan mentraktir makan. Maya mengangguk tidak keberatan.
Ia sendiri membawa setangkup untuk dimakan di jalan.
Siang
yang panas, sambil menunggu waktu zuhur, aku membuka-buka foto
pernikahan Yunan dan Maya sebulan yang lalu. Wajah perempuan ayu di foto kuperhatikan
dengan seksama. Menantuku memang cantik, lesung pipit membuat siapapun senang
memandangnya. Belum lagi matanya bundar mblalak-mblalak dengan alis nanggal
sepisan.
Pintu
rumahnya diketok. Aih, besan datang. Tergopoh-gopoh aku menyambutnya.
“Mangga
Diajeng.”
“Matur
nuwun, Mbakyu.”
Setelah
satu dua basa-basi, besan bertanya, “Bagaimana Mbakyu, adakah tutur kata dan
perilaku Maya yang menyakiti Diajeng?”
Aku menggeleng. Jujur, sejauh ini Maya tak
pernah berkata kasar atau perilaku yang menyakiti.
Syukurlah,
saya sudah khawatir. Maklum ia sejak kecil lebih banyak menghabiskan waktunya
dengan pembantu. Mbakyu tentunya tahu saya sering keluar daerah bahkan ke luar
negeri untuk mengurus perusahaan.” Nada bicaranya datar tanpa bermaksud pamer. Aku
dapat merasakannya.
“Nduk
Maya baik kok, Diajeng. Anaknya ramah dan supel.”
“Ah,
syukurlah. Kadang saya merasa menyesal tak merawat dan mendidiknya dengan
benar. Ohya, ngomong-ngomong apa Maya
sudah bisa masak?”
Masak?
Apakah memanasi makanan beku di microwafe itu tergolong memasak? Membuat teh
tubruk dengan air galon apakah itu juga dikategorikan memasak? Aku masih bergelut dengan
pikirannya sendiri.
“Lho,
Mbakyu kok malah melamun?”
“Eh
iya. Maya memasak kok, Diajeng.”
“Tolong
anaknya diingatkan kalau memasak yang bener. Jangan kayak saya jan
blas ndak bisa masak. Untunglah suami saya mahir memasak. Lagi pula ada
banyak asisten di rumah kami. Maya diajari memasak, ya, Mbakyu?” pinta wanita
itu dengan kesungguhan.
“Iya,
Diajeng tenang saja,” jawabku kalem.
Besanku
pulang setelah satu dua cerita lagi, khas orang tua yang menanti kehadiran
cucu. Aku semakin bersyukur. Besanku orang baik. Bahkan ngaruhke
anaknya.
Saat
hendak menutup pintu mobil, mendadak besan menarik lembut tanganku, “Jangan
bilang pada Maya kalau saya datang ke sini.”
Aku mengangguk. Padahal aku sendiri
bermaksud mengabari Maya kalau ibunya dating. Bukan, bukan untuk membahas
urusan masak tadi. Tadi lebih kepada betapa baiknya besanku itu.
Kemudian
besanku segera menutup pintu mobil tetapi urung. Malah keluar lagi,
“Maafkan anak saya … saya tahu, anak saya tidak benar-benar memasak.”
Aku tersentak. Dari mana besan tahu padahal tadi
aku tidak bercerita apa-apa.
“Saya merasa gagal mendidik anaknya. Maya
pasti tak mau
susah. Persis seperti saya. Memang mengubah kebiasaan tak bisa serta merta.
Keajaiban itu tetap harus diusahakan.” Air mata besannya mengalir
deras.
Sore yang tenang Maya pulang kerja.
Aku harus menyampaikan padanya bahwa tadi ada pemberitahuan dari Pak RT.
“Nduk, akan ada pemadaman listrik
selama 2 x 24 jam dari PLN. Katanya akan ada perbaikan beberapa tiang listrik
yang keberadaannya sudah mengkhawatirkan.”
“Apa, Mbok? Jadi dua hari dua malam
tidak ada listrik,” Maya terduduk kaget sambil menepuk dahinya.
“Iya, tapi kamu tenang saja. Biar
Mbok yang turun ke dapur.”
Aku tersenyum penuh kemenangan.
Inilah saatnya aku kembali turun ke dapur mengobati kangenku. Peralatan dapur: ketel, soblok
atau dandang, ceret, wajan, dan panci akan bersentuhan dengan api lagi.
“Sebentar, Mbok…” Maya menyunggingkan
senyum tertahan. “Saya masih punya solusi. Kan masih bisa delivery untuk urusan makan dan memanfaatkan jasa laundry untuk cucian.”
Maya terkekeh dengan ide
cemerlangnya. Kali ini aku yang tersenyum kecut. Semua benar-benar serba elektrik kan?
(Tulisan ini pernah dimuat di Majalah
Hadila, edisi April 2019)
Posting Komentar untuk "Cerpen "Menantu Elektrik""