Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Resensi Buku Orang-Orang Biasa

Pelajaran Integritas dari Orang-Orang Sederhana


Judul : Orang-Orang Biasa

Penulis : Andrea Hirata

Penerbit : Bentang Pustaka

Cetakan : Pertama, Februari 2019

Tebal : 368 halaman

ISBN : 978-602-291-524-9


Kehidupan orang-orang Melayu rupanya tak habis-habisnya mengilhami Andrea Hirata. Kehidupan biasa-biasa saja disuguhkan secara menarik. Orang-Orang Biasa. Fiksi adalah novel yang terinspirasi dari kekecewaan besar akan kegagalan memperjuangkan seorang anak miskin yang pintar masuk Fakultas Kedokteran Universitas Bengkulu. 

Meski telah diterima, anak tersebut tak dapat kuliah karena tak mampu membayar uang muka. Semua koperasi dan bank tak ada yang mau memberi pinjaman lantaran tak ada jaminan sama sekali. Pekerjaan pun tidak pasti.

Cerita novel ini menghadirkan 10 orang biasa (OOB). Mereka adalah Debut yang membuka toko buku di tengah masyarakat yang tak suka membaca. Salud, pekerja serabutan yang mengandalkan tenaga. Rusip, pemilik perusahaan cleaning service yang terancam gulung tikar. Nihe dan Junilah, pagawai CV milik Rusip. Kemudian, Sobri, sopir tangki septic. Honorun, guru honor. Tohirin, kacung di pelabuhan. Handai yang terobses menjadi pembicara motivasi, dan Dinah, penjual mainan anak-anak yang sering dikejar hansip. 

Kehidupan para tokohnya memang menyedihkan. Namun, mereka menyimpan hati emas. Siapa sangka mereka yang semasa sekolah sangat memprihatinkan, memiliki pemikiran luar biasa.Mereka siap membantu Dinah menyekolahkan anaknya, Aini.

Ketika kemiskinan begitu membelit, tebertik perampokan. ”Di mana semua uang di dunia ini berada? Semua uang di dunia ini ada di bank. Anakmu harus masuk Fakultas Kedokteran itu! Apapun yang terjadi! Seorang ibu rela memotong tangan demi anaknya! Hapus air matamu, Dinah! Siapkan dirimu! Siapkan dirimu baik-baik!Karena kita akan merampok bank itu!” (hlm 79).

 Apakah rencana mereka berjalan dengan baik? “Kini mereka merasakan sendiri bahwa merampok memang mustahil dapat dilakukan oleh orang-orang awam yang tak berjiwa penjahat (189). Sementara itu, seorang Inspektur Abdul Rojali dan polisi muda, Sersan P Arbi dilanda paradoks tanggung jawab. Mereka lesu bertugas karena minimnya angka kriminalitas. 

Daerah kerja mereka, kota Belantik, hampir tak ada kejadian kejahatan. Seringkali keduanya hanya membuat surat kelakuan baik dan menekennya. Padahal, mereka berdua ingin melakukan hal-hal heroik sebagaimana Shah Rukh Khan dalam film-filmnya. “Menelaah papan tulis statistik kejahatan itu, yang demikian minim angkanya, sehingga tak bisa dijadikan diagram batang, diagram cucur, atau diagram naik-naik ke puncak bukit. Barangkali tak ada yang keberatan jika dikatakan Belantik adalah kota ukuran sedang paling aman dan paling naif di seluruh dunia. Suatu kota di pinggir laut yang penduduknya telah lupa cara berbuat jahat,” (hlm 5).

Kedua abdi negara itu tak tersentuh, tak bisa disogok, tapi berdedikasi. “Dunia ini rusak gara-gara banyak bawahan yang suka melapor pada atasan asal atasan senang saja, Sersan! Bawahan semacam itu para penjilat! Kalau melaporkan apa pun pada saya, apa adanya, Sersan! Jangan dikurang-kurangi. Jangan ditambah-tambahi!” (hlm 48).

Ketika anaknya tidak keterima mendaftar sekolah perawat, kepala sekolah memberikan keistimewaan bagi anak-anak pejabat. Tetapi inspektur menjawab bahwa anaknya tidak lulus tes. Dia merasa bukan pejabat. Lalu ketika ditawari beasiswa dia menjawab, beasiswa hanya untuk orang-orang yang tak mampu, bukan orang pekerja sepertinya (hal 64-65).

 “Maaf, Kawan, uang korupsi, uang haram, sesen pun aku tak mau menyekolahkan anakku dengan uang ini. Mendengar penuturan Dinah, teman-temannya menjawab, “Kami sudah sepakat untuk mengumpulkan uang. Menjual apa saja yang bisa dijual. Meminjam dari mana saja. Berdemo, mogok makan, apa saja asal anakmu dapat masuk Fakultas Kedokteran itu, Dinah. Kami pun tak mau uang itu,” (hlm 224).


Yeti Islamawati, S.S. alumni Universitas Negeri Yogyakarta. 

Pengajar di MTsN 6 Sleman, DI Yogyakarta

Yeti Islamawati, S.S.
Yeti Islamawati, S.S. Jika aku punyai "impian", maka aku akan berusaha mencari jalan untuk mewujudkannya. Dalam rentang waktu tahun 2016 hingga tahun 2020 ini, alhamdulillah, ada lebih dari seratus karya saya, termuat di media massa, antara lain Harian Analisa, Harian Bernas, Harian Bhirawa, Harian Singgalang, Kabar Madura, Kedaulatan Rakyat, Koran Jakarta, Koran Pantura, Malang Post, Padang Ekspress, Radar Cirebon, Radar Madura, Radar Sampit, Radar Surabaya, Republika, Solopos, Tribun Jateng, Web Suku Sastra, Web Pergumapi, Majalah Pewara UNY, Majalah Hadila, Majalah Auleea, Majalah Bakti, Majalah Candra, Majalah Fatwa, serta Majalah Guru.

3 komentar untuk "Resensi Buku Orang-Orang Biasa"