Membudayakan Menulis di Kalangan Siswa
Tutor Creative Writing, Naning Pranoto dalam
buku Creative Writing Telaga Inspirasi
Menulis Fiksi menyampaikan hal yang cukup menggelitik, “Setelah membaca:
menulis, teruslah menulis. Membaca lagi, lagi, dan lagi setiap saat-setiap
hari. Terus menulis, menulis, dan menulis seperti bernafas!” Luar biasa.
Menulis menjadi kebutuhan pokok seperti hanya bernapas.
Kenapa harus
menulis? Menulis merupakan sarana untuk menuangkan ide. Sehebat apapun ide atau
gagasan jika tidak disampaikan kepada orang lain, hanyalah tetap menjadi sebuah ide saja. Menulis
juga merupakan sarana untuk ekspresi diri, terapi bagi jiwa, dan hiburan. Selain
itu, manusia tidak akan selamanya hidup dan dapat menemui generasi yang hidup
jauh di kemudian hari. Oleh karena itu tulisan yang akan mewakili keberadaan
kita. Usia tulisan lebih panjang dari usia manusia. Ketiga hal tersebut
menunjukkan betapa pentingnya menulis.
Antara
Siswa dan Budaya Menulis
Tentu saja, menulis untuk siswa SD berbeda
dengan murid SMP dan SMA. Kegiatan menulis dapat diawali sedini mungkin. Untuk
usia sekolah dasar dapat dimulai dengan menuliskan kegiatan yang berkesan,
puisi, atau cerita pendek sederhana. Saat ini banyak koran dan majalah yang
menyediakan rubrik tersebut, termasuk Kedaulatan Rakyat hari Minggu. Anak-anak
biasanya mempunyai banyak cerita. Guru hanya perlu mengarahkan saja agar mereka
mudah dalam menuangkan ide.
Untuk siswa
remaja, SMP-SMA didorong menulis dengan lebih beragam dan lebih berbobot,
misalnya menulis cerita pendek dengan alur yang lebih komplek dan klimak yang
“menggigit” disertai setting yang kuat. Masa remaja merupakan masa pencarian
jati diri, yang biasanya menorehkan cerita. Alangkah baiknya jika pengalaman
dan kisahnya dituangkan ke dalam sebuah tulisan. Dengan banyak menulis, remaja
dapat lebih menggunakan waktunya dengan baik sehingga budaya pergaulan bebas,
dan hedonisme dapat diminimalisir.
Berikut ini
beberapa cara menumbuhkan budaya menulis di kalangan siswa. Pertama, guru
membiasakan memberi tugas untuk menuliskan apa yang didapat hari itu dengan
bahasa sendiri, bukan dengan menyalin buku. Kedua, guru dapat mengadakan
presentasi hasil tulisan mereka. Ketiga, guru aktif mencarikan wahana untuk
menulis. Misalnya dengan mencermati rubrik-rubrik di koran dan majalah.
Termasuk mencarikan informasi lomba menulis, baik itu menulis fiksi maupun
menulis ilmiah. Keempat, guru siap membimbing siswa yang berarti guru tersebut harus
memulai menulis. Kelima, program kunjungan ke perpustakaan diikuti tugas
menulis ulasan buku.
Ide
Tulisan
Biasanya
terdapat kendala dalam mewujudkan sebuah tulisan. Salah satunya adalah
kesulitan dalam menulis itu sendiri. Untuk itu perlu disampaikan cara praktis
untuk segera menulis. Tidak perlu menjadi hebat terlebih dahulu baru kemudian
menuliskannya.
Nah bagaimana
untuk mendapatkan ide tulisan? Salah satunya dengan membaca. Penulis yang baik
adalah pembaca yang baik. Melalui kegiatan menulis, seseorang akan terdorong
untuk mencari referensi atau sumber bacaan. Dari sinilah budaya menulis sekaligus
meningkatkan budaya membaca. Memang membaca dan menulis pada hakikatnya seperti
dua sisi mata uang. Keduanya sama-sama penting.
Seorang penulis
pada hakikatnya adalah seorang pencerita. Tugas seorang pencerita adalah
menyampaikan gagasan yang diusungnya kepada pihak lain agar gagasannya
diketahui, disetujui, bahkan diikuti oleh pembacanya. Tere Liye, penulis novel bestseller dalam salah satu novelnya berjudul
Amelia,
menyampaikan bahwa peraturan menulis karangan yang baik ada dua. Yang pertama
adalah tidak ada aturannya sama sekali. Yang kedua, jika ada yang mengatakan
ada peraturannya, maka lihatlah peraturan yang pertama. Sebetulnya menulis ini
tidak harus dengan banyak teori. Biarkan jemari kalian mengalir bagai mata air
deras dan menuliskan cerita yang bening tanpa tertahankan.”
Memang betul,
seseorang yang hanya berkutat pada teori menulis dan tidak berusaha
mempraktikkannya, tidak akan pernah menghasilkan karya. Jadi rumus untuk dapat
menulis adalah segera menulis. Maka seyogyanya pelajaran menulis pada siswa
yang ditekankan adalah menulis itu sendiri, bukan berkutat pada teori menulis.
Bukan hanya tentang apa yang benar dan apa yang salah dalam menulis. Menulis
itu urusan hati, adapun mengedit tulisan itu urusan otak. Harapannya, kegiatan menulis
bagi siswa tidak lagi menjadi sebuah momok yang menakutkan tetapi menjadi
semacam kebutuhan.
Satu hal yang
wajib diingat adalah bahwa menulis harus jujur, tidak boleh plagiat. Kejujuran
adalah sebuah harga mati yang harus dimiliki seorang penulis.
(Pernah dmuat di Harian Bernas, 4 Juni 2016)
Posting Komentar untuk "Membudayakan Menulis di Kalangan Siswa"