Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Resensi Buku Cuko





Mengasah Jiwa Kewirausahaan Sejak Remaja
Judul                : Cuko
Penulis             : Ariestanabirah
Penerbit                       : Laksana
Cetakan                       : I, 2018
Tebal               : 220 halaman
ISBN               : 978-602-407-427-2

Menjadi dewasa itu pasti, tapi sikap kedewasaan belum tentu dijumpai pada setiap orang. Sikap kedewaan salah satunya ditandai dengan kemampuan untuk mengatasi permasalahan dalam hidup.
Novel Cuko berkisah tentang Remaja bernama Aka dan Dira. Mereka berdua tinggal di sebuah panti asuhan. Kebijakan di panti asuhan tersebut adalah anak-anak panti harus bisa hidup mandiri ketika berusia 18 tahun. Hal itu, mau tidak mau membuat Aka dan Dira yang sudah berusai 17 tahun memikirkan nasib mereka di kemudian hari. “Jadi dewasa itu menakutkan, iya. Tapi, mau nggak mau kita mesti jalani itu, (halaman 16).
Hidup di panti asuhan tentu saja ada sisi tak nyamannya, meski demikian, mereka menemukan hal yang luar biasa, misalnya saja tentang ikatan darah, “Kita emang nggak terikat darah, tapi kita terikat rasa kekeluargaan, melebihi ikatan darah,” (halaman 103).
Aka dan Dira mempunyai ide berjualan pempek. Dira mempunyai warisan resep pempek dai ibunya yang ia tulis di buku agendanya. Berbekal kemampuan Dira yang lihai memasak, mereka segera mempraktikkan resep tersebut. Mereka berdua tidak malu membuka lapak di sekolah, dan menitipkan pempek buatannya ke kantin sekolah.
Pempek buatan keduanya dinamakan Cuko dengan slogan, “Dak Becuko Dak Lemak”. Pengambilan nama Cuko ini mempunyai makna tersendiri. Cuko sendiri merupakan kuah yang dimakan bersama pempek. “Cuko? Asam-pedas tapi dibutuhkan, seperti kehidupan yang punya masalah… jadi bumbu kehidupan itu sendiri,” (halaman 87).
Dira yang ambisius dan penuh rencana bertekad suatu hari nanti akan mempunyai restoran sendiri. Untuk itu, Dira menerima kerja sama dengan Dwi, anak seorang pengusaha kuliner yang hendak membuka kafe. Omset pempek meningkat hingga Dira bisa membelikan adik-adik di panti sebuah sepeda untuk digunakan berlatih.
Untuk memperoleh tambahan modal, Dira juga mengajar privat. Sementara itu, diam-diam Aka juga menjadi pengasuh bayi. Keduanya melakukan bisnis di sela-sela tugas utamanya sebagai pelajar: belajar dan sekolah.
Namun, tentu saja kondisi fisik ada batasnya dan tak bisa dipaksakan. Suatu hari Dira tumbang terkena tifus akibat kelelahan. Praktis semua bisnis di-handle Aka. Pada saat itu, Aka sendiri harus menata hati melihat sikap Dwi yang manja dan kekanak-kanakan pada Dira.
Aka sempat ditegur oleh teman sepantinya Lika. Ia hanya seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Tak berani mengemukakan prinsip hanya mengekor. Awalnya Aka tidak terima dikatakan demikian, tetapi Aka lalu merenung bahwa apa yang dikatakan Lika tak sepenuhnya salah. Memang Tokoh Lika terkesan judes, tanpa perasaan, sekaligus blak-blakan. Namun sejatinya, ia teman yang perhatian dan suka menolong. Bahkan diam-diam pula Lika mempromosikan usaha Cuko di sosial media, seperti penjual kekinian.
Maka, Aka pun mulai memikirkan mimpi dan passion-nya. “Aku takut menua dan menyesal. Takut tidak berjuang di masa muda dan akhirnya berharap waktu kembali. Mungkin saat itu aku ingin memutar roda waktu mengulang, memperbaiki diri,” halaman 119.
Hal yang saya suka dari tokoh Aka adalah, bahwa kita tidak harus selalu terlihat keren untuk dicintai seseorang. Aka hanya perlu melakukan upaya terbaik. “Ada hal yang nggak bisa diputuskan hanya dari angka di kertas, kan? Nilai-nilai akademik itu nggak memuat betapa keras kepalanya seorang Aka belajar meski benci pelajaran itu, gimana kau nggak nyontek sewaktu ujian dan PR meski nilainya nggak sebaik orang lain. Angka yang ditulis guru, bahkan guru itu luput memasukkan unsur kerja keras dan kejujuran karena yang mereka lihat hanya benar atau nggak sebuah jawaban, nggak disertai apa yang terjadi di balik jawaban tersebut,” halaman 189 - 199.
Pada akhirnya sampailah pada suatu kesimpulan bahwa hasil tak akan pernah mengkhianati kerja keras. Senada dengan nasihat yang disampaikan oleh ibu asuhnya, Ibu Angri, “Belajar sungguh-sungguh, pasti ada jalan,” (halaman 14).
Nilai plus dari novel ini, pembaca akan tahu berbagai macam makanan khas palembang, terutama pempek: pempek dos, pempek lumbuk, pempek lenjer, godo-godo dan termasuk juga kue basah seperti kue maksuba dan kue delapan jam. Terdapat pula  resepnya yang dapat dipraktikkan pembaca.
Ending novel ini ditutup dengan manis. Tohoh Dira memberikan clue kepada Aka mengenai perasaanya melalui sountrack film Detektif Conan.


Yeti Islamawati, S.S. Seorang Guru, alumni Universitas Negeri Yogyakarta. 



Yeti Islamawati, S.S.
Yeti Islamawati, S.S. Jika aku punyai "impian", maka aku akan berusaha mencari jalan untuk mewujudkannya. Dalam rentang waktu tahun 2016 hingga tahun 2020 ini, alhamdulillah, ada lebih dari seratus karya saya, termuat di media massa, antara lain Harian Analisa, Harian Bernas, Harian Bhirawa, Harian Singgalang, Kabar Madura, Kedaulatan Rakyat, Koran Jakarta, Koran Pantura, Malang Post, Padang Ekspress, Radar Cirebon, Radar Madura, Radar Sampit, Radar Surabaya, Republika, Solopos, Tribun Jateng, Web Suku Sastra, Web Pergumapi, Majalah Pewara UNY, Majalah Hadila, Majalah Auleea, Majalah Bakti, Majalah Candra, Majalah Fatwa, serta Majalah Guru.

Posting Komentar untuk "Resensi Buku Cuko"