Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Resensi Buku Menunggu Musim Kupu Kupu





Aneka Warna Pergulatan Batin Manusia
 
Judul                           : Menunggu Musim Kupu-Kupu
Penulis                        : Adi Zamzam
Penerbit                       : Basabasi
Cetakan                       : Pertama, 2018
Tebal                           : 156 halaman
Nomor ISBN               : 978 602 391 344 2
Peresensi                     : Yeti Islamawati, S.S.

Setiap manusia pernah mengalami pergulatan batin. Perang pemikiran yang berlangsung dalam diri manusia. Hal wajar mengingat manusia memang oleh Allah dikaruniai akal pikiran dan nurani. Nurani yang selalu akan menuntun kepada kebenaran, betapa pun manusia berusaha menutup-nutupinya.
Kumpulan cerpen karya Adi Zamzam dalam buku Menunggu Musim Kupu-kupu ini mengajak pembaca untuk merenung, lalu bercakap dengan diri sendiri untuk selanjutnya mereguk lautan hikmah.
Ada banyak hal menarik dari 15 cerpen pilihan yang tersaji dalam buku ini. Salah satunya pada cerpen yang berjudul “Surat untuk Kampung Halaman” yang bercerita tentang seorang lelaki yang mengadu hidupnya di kota. Istrinya tewas terhantam kereta yang membuat lelaki itu sulit menyembuhkan lukanya dan setiap hari menziarahi rel kereta. Demi menutupi keadaan yang sebenarnya, ia selalu berkabar tentang kebohongan. “Langit tergenang air mata sekarang. Lelaki malang itu masih juga berusaha mengirimkan sebuah kebohongan ke kampung halamannya. Lelaki malang itu masih juga ingin membohongi hatinya sendiri. Dalam suratnya kali ini ia bercerita bahwa Saridin telah dipensiunkan karena ia telah punya pekerjaan lain yang lebih layak. Istrinya, telah punya kios sendiri di Pasar Kemiri Muka,” (halaman 142).
Cerita lain yang tak kalah menarik berjudul “Lelaki Penjual Kantong Kebahagiaan”. Diceritakan bahwa di pasar ada seorang penjual kantong kebahagiaan seharga lima ribu rupiah. Lama tak ada yang membeli karena tentu saja terdengar sangat absurd. Bagaimana cara memuntahkan kemarahan ke dalam kantong?
Hingga salah seorang membeli dan penjual menjelaskan cara penggunaannya. “Setiap kali Anda hendak marah, buanglah kemarahan Anda dalam kantong kecil ini. Lalu lihat apa yang kemudian terjadi,” (halaman 130). Penjual itu bertanya berapa kali ia marah dalam sehari. Ia diminta menghitung kapan saja marah itu terjadi, misalnya saat membaca berita-berita di koran atau televisi, saat punya masalah dengan istri ataupun anak. “Setiap orang butuh pelampiasan amarah. Apalgi jika hidup di sebuah negara dengan huku
m yang tidak berdaulat ini. Baca koran rasanya ingin marah, menonton televisi marah, bekerja mara, di jalanan marah, di rumah marah, apa-apa yang dilihat sering mengundang marah. Jikalau pelampiasannya tidak benar, bukankah kemarahan itu bisa merugikan orang lain, bahkan diri sendiri?” (halaman 130-131).
Selanjutnya, dalam cerpen berjudul “Tubuh yang Diam”, pembaca akan disuguhi narasi yang menggelitik. Bagaimana ketika kepala, telinga, mata, kedua tangan, kedua kaki melakukan aktivitas sendiri-sendiri yang tidak saling berhubungan. Hal mana membuat si tokoh merasakan kekosongan dalam tubuhnya.
Penggambaran kondisi kepala mengingatkan pembaca tentang musim pemilihan umum. “Ia merasa kepalanya sedang berbicara di hadapan banyak orang, dari A sampai Z, tentang taktik pemenangan dirinya yang harus dijalankan oleh mereka, tentang bagaimana caranya mengumpulkan dana, dan bagaimana caranya mengoptimalkan dana tersebut, tentang bagaimanaa caranya meraih simpati orang-orang, juga tentang bagaimana-bagaimana lainnya yang berkaitan dengan pencalonan diri sebagai orang nomor satu di kotanya,” halaman 96.
Adapun tokoh aku sengaja menyisakan tangannya saja saat di samping istrinya sebab ia tahu kepalanya tidak lagi penting saat berada di samping istrinya. Selera istrinya untuk memanjakan diri sering tak bisa diganggu gugat oleh siapa pun termasuk dirinya, selaku suaminya. Tangannya merangkul istri sekadar tanda bahwa ia selalu setia menemani dan mendukung keinginan istrinya. Lalu bagaimana tokoh aku mengembalikan keberadaan anggota tubuhnya agar dirinya tak lagi kosong?
Tentu saja masih ada cerpen-cerpan menarik lainnya yang sayang untuk dilewatkan. Sebuah buku yang sebaiknya dibaca untuk lebih bijak dalam melangkah.
Dengan membaca buku ini pula, pembaca akan tahu cita-cita yang diusung oleh Adi Zamzam dalam karyanya. Tentang apa yang oleh Mongane Serote, penyair Afrika Selatan, sebagai kompleksitas kebenaran yang konon merupakan buruan termahal dari para penulis sastra. Bisa jadi, karyanya ini merupakan proses perburuan penulisnya. 

Yeti Islamawati, S.S.
Pembaca Buku
Yeti Islamawati, S.S.
Yeti Islamawati, S.S. Jika aku punyai "impian", maka aku akan berusaha mencari jalan untuk mewujudkannya. Dalam rentang waktu tahun 2016 hingga tahun 2020 ini, alhamdulillah, ada lebih dari seratus karya saya, termuat di media massa, antara lain Harian Analisa, Harian Bernas, Harian Bhirawa, Harian Singgalang, Kabar Madura, Kedaulatan Rakyat, Koran Jakarta, Koran Pantura, Malang Post, Padang Ekspress, Radar Cirebon, Radar Madura, Radar Sampit, Radar Surabaya, Republika, Solopos, Tribun Jateng, Web Suku Sastra, Web Pergumapi, Majalah Pewara UNY, Majalah Hadila, Majalah Auleea, Majalah Bakti, Majalah Candra, Majalah Fatwa, serta Majalah Guru.

Posting Komentar untuk "Resensi Buku Menunggu Musim Kupu Kupu"