Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Resensi Buku As One



Menguatkan Hati untuk Bangkit dari Keterpurukan

Judul                : As One
Penulis             : Auroragong-ju & Rositi
Penerbit           : Loka Media
Cetakan            : Pertama, 2019
Tebal               : 263 halaman
ISBN               : 978-602-5509-54-4

“Selama kita masih berpegang teguh pada kejujuran, semua pasti akan baik-baik saja, sekalipun memang terasa menyakitkan. Tapi kita juga harus percaya, Tuhan tidak akan menguji kita melebihi kemampuan. Kebahagiaan selalu merindukan setiap insan.
(halaman 201)
Membaca novel As One, perasaan pembaca serasa diaduk-aduk. Rentetan konfik yang tersusun membuat novel ini hidup. Kedua penulis novel ini mengangkat tema cinta dewasa remaja. Berangkat dari Rara, yang bernama lengkap Aurora Navya Putri yang ditinggalkan orang-orang yang dikasihinya secara beruntun. Tentu saja, hal tersebut menjadi pukulan berat buatnya.
Hari-harinya yang dijalaninya tak lagi sama. Selang seminggu setelah ayahnya meninggal, disusul tunangannya, Erlan. “Apakah hidup hanya soal kehilangan? Tuhan beri, tapi secepat angin berembus, Tuhan kembali mengambilnya. Tidak adakah yang akan selamanya tinggal?” (hlm 48).
Sementara itu Davino Alfa Wijaya selalu ada buat Rara. Ia bahkan memang sudah selalu ada, sebelum sosok Erlan hadir dalam kehidupannya. Alfa kembali menguatkan Rara untuk bangkit. Namun, ia sendiri tak menafikan rasa cinta yang sejak kemunculannya tak pernah padam. Ketika Alfa susah payah berjuang mencairkan hati Rara, datanglah Lio sosok lelaki bernama Adelio Pradipta Daniswara (Lio). Ia seorang pengusaha kaya raya dengan kepribadian aneh.
Rara berada di antara dua pilihan: Alfa yang selalu peduli dan mengayomi atau Lio yang menawarkan warna lain dalam hidupnya. Sementara itu, bayang-bayang Erlan selalu hadir. Rara juga masih sulit membuka hati untuk memaafkan Eisha yang selalu merecoki hubungannya dengan Erlan semasa hidup. Puncaknya ketika Erlan meninggal saat diminta mengantar Eisha ke kantor Bursa Efek Indonesia yang pada hari naas itu. Erlan menjadi salah satu korban meninggal.
Untuk itu, Rara justru memutuskan menjaga jarak dengan Alfa, Lio, dan Eisha. Sebelum pergi, Rara mengembalikan kalung pengikat tunangannya dengan Alfa. Ia juga mengacuhkan pesan-pesan dari Lio. Ia pun menjadi punya banyak waktu untuk merenung. “Kita cukup lebih mencintai diri kita, termasuk mereka yang telah menanamkan luka, sembari terus hidup bahagia. Buatlah rasa sakit itu sebagai tolok ukur pembuktian. Tapi kamu justru melukai dirimu sendiri. Kamu tidak sepenuhnya menjalani hidup ini dengan hati. Kamu hanya mengandalkan logika tanpa peduli pada perasaanmu sendiri. Ini jauh lebih menyedihkan,” (hlm 188).
Sisi lain dari novel ini juga menunjukkan pentingnya bekerja keras dan hidup sederhana. Sekaya apa pun orang itu. Rara menasihati adiknya, “Mulai sekarang, berhenti membeli barang yang nggak begitu kamu butuhkan. Mulai sekarang, lupakan soal gengsi. Jangan ikuti tren, nggak akan ada habisnya, Rean. Tampil biasa dan sederhana jauh lebih baik dan kamu akan menemukan lebih banyak lagi yang tulus berteman sama kamu,” (hlm 102). Saat mendengar Rara menasihati adiknya Rean, Lio pun merasakan dejavu, saat mamanya menasihatinya, “Kekayaan harta benda itu tidak sebanding dengan kekayaan hati manusia. Harta itu milik Papa, bukan milikmu. Kalau kamu ingin sesuatu, kamu harus berusaha dengan keras,” (hlm 103).
Pengarang piawai membuat liku-liku cerita. Pembaca tentu tak sabar untuk segera mengetahui akhir dari kisah ini. Kepada siapa akhirnya pilihan hati Rara berlabuh? Karena tak mungkin kita menginginkan segala sesuatu persis yang kita dambakan. “Di dunia ini tidak ada yang benar-benar sempurna seperti yang kita impikan. Orang yang sudah Tuhan panggil, tidak akan kembali lagi. Kamu harus ikhlas. Buka hati. Asal kamu punya rasa peduli dan keinginan untu mencoba melepaskan yang sudah pergi, cinta pasti akan tumbuh,” (hlm. 234 -- 235).
Sebuah cerita yang menggambarkan konflik batin begitu kuat, dan pembaca merasa menjadi tokoh utama dalam cerita ini. Sedikit kekurangan dalam cerita ini, terdapat beberapa adegan yang kesannya dibuat serba kebetulan. Terlepas dari kekurangan yang ada, kehadiran novel ini mencerahkan pembaca. Mengajak orang-orang yang pernah terpuruk dalam kesedihan untuk bangkit kembali menatap masa depan.

Yeti Islamawati, S.S. alumni Universitas Negeri Yogyakarta.





Yeti Islamawati, S.S.
Yeti Islamawati, S.S. Jika aku punyai "impian", maka aku akan berusaha mencari jalan untuk mewujudkannya. Dalam rentang waktu tahun 2016 hingga tahun 2020 ini, alhamdulillah, ada lebih dari seratus karya saya, termuat di media massa, antara lain Harian Analisa, Harian Bernas, Harian Bhirawa, Harian Singgalang, Kabar Madura, Kedaulatan Rakyat, Koran Jakarta, Koran Pantura, Malang Post, Padang Ekspress, Radar Cirebon, Radar Madura, Radar Sampit, Radar Surabaya, Republika, Solopos, Tribun Jateng, Web Suku Sastra, Web Pergumapi, Majalah Pewara UNY, Majalah Hadila, Majalah Auleea, Majalah Bakti, Majalah Candra, Majalah Fatwa, serta Majalah Guru.

Posting Komentar untuk "Resensi Buku As One"