Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Resensi Buku Ceros dan Bartozar












Jangan Melihat Hanya dari Satu Sisi

Judul              : Ceros dan Batozar
Penulis           : Tere Liye
Penerbit         : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan         : Pertama, Mei 2018
Tebal              : 359 halaman
Nomor ISBN : 9786020385914
Peresensi       : Yeti Islamawati, S.S.

Jangan menilai orang dari penampakan wajah dan dari apa yang dikatakan orang. Mungkin itu yang menjadi pelajaran moral dari Novel Ceros dan Batozar. Novel tersebut merupakan kelanjutan dari Seri Galaksi Tere Liye sebelumnya, yaitu Bumi, Bulan, Matahari, dan Bintang.
Seperti judulnya, novel tersebut terdiri dari dua bagian, yaitu pertama Ceros dan yang kedua Bartozar. Keduanya bercerita tentang petualangan Raib, Seli, dan Ali, yang sama-sama mendebarkan.
Sekolah Raib, Seli, dan Ali melakukan perjalanan studi wisata ke suatu tempat bersejarah. Ketika sampai di tempat tujuan, tiba-tiba alat pengintai yang dibuat oleh Ali si jenius menunjukkan ada hal misterius di bawah mereka berdiri.
Dengan Ily, kendaraan “pintar” yang dimiliki, mereka berusaha mencari pintu masuk untuk menyelidiki ada apa sebenarnya yang terjadi di bawah tempat bersejarah yang mereka kunjungi. Ternyata, lorong menuju bangunan ada di bawah laut, di kedalaman 1.200 meter.
Ily memang sudah disesain untuk menyelam di dalam lautan sehingga mereka terbantu dalam menemukan sebuah lorong yang membawanya pada suatu tempat. Sebelum mereka beradaptasi dengan tempat asing yang baru saja dimasuki, mereka sudah diserang sepasang Ceros. “Di atas permukaan danau, aku melihatnya pertama kali. Makhluk itu berlari buas, seperti bisa berjalan di atas air. Tingginya sekitar empat puluh meter, badannya seperti manusia, tapi kepalanya badak. Itu persis seperti patung yang kami lihat sebelumnya, tapi yang satu ini hidup. Monster itu membawa tongkat perak panjang. Tongkat itu teracung ke depan,” (halaman 44).
Mereka hampir saja ketiganya tak tertolong jika bukan karena kemunculan cahaya matahari yang membuat kedua Ceros hilang secara misterius. Sebagai ganti, muncullah dua manusia laki-laki kembar. Ternyata kedua ceroz itu merupakan jelmaan Ngglanggeran dan Ngglanggeram. Pembaca akan bertanya-tanya apa yang menyebabkan keduanya menjadi Ceroz. Hal yang kemudian akan terjawab setelah tuntas membaca novel ini.
Bagian kedua novel ini berkisah tentang Batozar. Ia merupakan sosok dengan penampakan  mengerikan, “Ada bekas luka di wajah, mata kirinya rusak berwarna merah darah, tubuhnya tinggi besar,” (halaman 164) 
Batozar adalah kriminal paling berbahaya di seluruh Klan Bulan. Selain sebagai kriminal, Batozar juga memiliki teknik Klan Bulan terbaik dan terlengkap. Dia juga menguasai kepandaian menggunakan tangan, kaki, seni berkelahi tingkat tinggi, sekaligus pengintai terbaik.
Benarkah ia seperti yang dikatakan Miss. Selena bahwa Batozar dihukum penjara seumur hidup sejak seratus tahun lalu atas tindak kriminal menghabisi seluruh keluarga salah satu Komite Klan Bulan? Jika benar, itu merupakan kejahatan sangat serius kepada pejabat tinggi Klan Bulan.
Ketiga sahabat diculik oleh Batozar dibawa ke daerah Kutup Utara. Mudah saja Batozar melakukannya dengan menggunakan cermin sebagai alat teleportasi. Ia membujuk bahkan terkesan memaksa Raib yang mempunyai kemampuan berkomunikasi dengan alam untuk memunculkan gambaran masa lalunya, terutama wajah anak dan istri yang sudah tak bisa dia ingat lagi.
Hal yang terduga, Raib, Seli, dan Ali justru mendapati Batozar merupakan sosok yang amat menyayangi keluarganya. Ia tidak kejam. Mereka dapat memahami, siapalah yang tidak akan meradang jika keluarganya disakiti atau bahkan dibunuh oleh orang yang selama ini dibela.
Batozar juga berbaik hati mengajari ketiga sahabat tersebut gerakan perfettu, yang berarti ‘keheningan di pagi hari’. “Petarung Klan Bulan, Klan Matahari, juga dunia parelel lain sudah melupakan seni bela diri warisan leluhur tersebut. Mereka hanya fokus melatih pukulan berdentum sekencang mungkin, melatih petir biru semegah mungkin. Mereka lupa, serangan paling mematikan tidak memerlukan kekuatan, apalagi suara menggelegar. Serangan paling mematikan justru berasal dari sentuhan lembut. Serangan terhebat bukan sesuatu yang datang dengan fantastis, spektakuler. Serangan terhebat justru datang dari sesabaran. Menunggu. Keheningan,” halaman 269.
Sebuah novel yang menginspirasi. Mengajarkan kita untuk memandang segala sesuatu dari banyak sisi. Bahwa suatu perbuatan pasti ada motif yang melandasinya. Ada alasan-alasan yang mungkin tidak bisa tertebak hanya dengan melihat suatu hal di permukaannya saja.

Peresensi,
Pengajar dan penulis
Yeti Islamawati, S.S.
Yeti Islamawati, S.S. Jika aku punyai "impian", maka aku akan berusaha mencari jalan untuk mewujudkannya. Dalam rentang waktu tahun 2016 hingga tahun 2020 ini, alhamdulillah, ada lebih dari seratus karya saya, termuat di media massa, antara lain Harian Analisa, Harian Bernas, Harian Bhirawa, Harian Singgalang, Kabar Madura, Kedaulatan Rakyat, Koran Jakarta, Koran Pantura, Malang Post, Padang Ekspress, Radar Cirebon, Radar Madura, Radar Sampit, Radar Surabaya, Republika, Solopos, Tribun Jateng, Web Suku Sastra, Web Pergumapi, Majalah Pewara UNY, Majalah Hadila, Majalah Auleea, Majalah Bakti, Majalah Candra, Majalah Fatwa, serta Majalah Guru.

Posting Komentar untuk "Resensi Buku Ceros dan Bartozar"