Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Resensi Buku A Moment to Decide

 

Belajar Saling Menyelami dan Memahami


Judul                : A Moment to Decide

Penulis             : Dian Dhie

Penerbit           : Indiva Media Kreasi

Cetakan            : Pertama, 2018

Tebal               : 288 halaman

ISBN               : 978-602-5701-08-5

 

Pola komunikasi antara orang tua dan anak memang memerlukan seni tersendiri. Orang tua menginginkan yang terbaik untuk anak, sementara itu anak pun ingin berbakti kepada orang tua dengan sebaik-baiknya. Keinginan saja tidak cukup jika tidak diikuti kerja sama dari kedua belah pihak.

Orang tua Riani, menjaga Riani sedemikian rupa. Sementara itu, Riani merasa dikekang. “Apa kau tidak tahu bagaimana aku merasa terpenjara? Karena aku takut pada abi, aku selalu menurut padanya. Aku sekolah dari SD hingga SMA di sekolah Islam dan memakai jilbab sejak usia tujuh tahun. Aku tidak pernah merasakan menggunakan aksesoris rambut dan memamerkan rambutku di depan umum bahkan sebelum aku baligh. Aku tidak boleh pergi jauh bahkan sekadar ke mall. Aku tidak pernah tahu rasanya ke bioskop, ke plaza, berteman dengan lawan jenis, medengarkan musik atau menonton drama yang kusukai. Aku tahu mungkin ada yang salah di sana, tapi aku tidak pernah diberikan kesempatan dan kepercayaan bahwa aku bisa mengendalikan diriku,” (hlm. 149).

Puncaknya saat Riana harus menerima calon suami pilihan ayahnya, seorang mualaf dari Korea. Terlebih lagi, Rani sahabatnya mengatakan bahwa calonnya itu, tidak sesuai dengan kriterianya. Riana tentu saja tidak kuasa menolak perintah ayahnya. Pernikahan kilat dan sederhana pun digelar. Ia hanya bisa berusaha menggagalkan proses ta’aruf, bahkan hingga enam kali. Namun, yang namanya jodoh memang menemukan jalannya sendiri, akhirnya Riana mereka tetap menikah.

Joo Hwon begitu tulus mencintai Riana. Dan sebetulnya Riana pun demikian juga. Keduanya saling menyukai ketika pertama kali bertemu secara tak sengaja. “Kalau dia memilihmu, artinya dia menyukaimu. Kalau dia menikahimu artinya dia mencintaimu. Kalau dia selalu memikirkanmu, artinya dia menyayangimu,” (hlm. 104).

Tak mudah menjalin hubungan dengan lawan jenis, karena sebelumnya Riana tak pernah diperbolehkan berteman dengan lawan jenis. Terlebih lagi, Joo Hwon berbeda warga negara. Kikuk, malu, takut, itulah hari-hari yang ia jalani. Riana begitu egois, hingga ia abai terhadap hak dan kuwajiban seorang suami istri. Joo Hwon begitu sabar menghadapi Riana. Namun sebagai lelaki normal, ia pun sempat tersinggung saat istrinya justru berpakaian rapat seolah-olah ia orang lain, bahkan Riana belum bersedia menerima nafkah darinya, baik nafkah lahir maupun batin.

Suatu hari, Joo Hwon kehilangan kesabaran saat tanpa izinnya Riana menerima teman-temannya yang kelakuannya memang tak keruan. Melepas jilbab, mewarnai, rambut, bahkan hendak minum bir. Joo Hwon hendak memulangkan Riana. Di perjalanan mereka bertengkar hebat meskipun urung ke Bogor ke rumah Riana, mereka pulang kembali ke rumahnya. Joo Hwon pun mengajukan pertanyan retoris yang menohok Riana. “Bukankah kau sejak kecil sekolah di sekolah agama? Bukankah Islammu sejak lahir? Bukankah kau sangat pintar dan tahu agama? Apa kau juga tahu hak dan kewajiban seorang istri? Apa kau tahu bagian melayani seorang suami seperti apa? Apa kau tahu hukumnya? Atau aku yang salah? (hlm 155).

Ketika hubungan keduanya hendak membaik, datanglah masalah lain. Rani, teman Riana sering merongrong kehidupan pernikahannya. Joo Hwon kasian pada istrinya, ia pun memberi nasihat, untuk tidak selalu mendengarkan apa yang dikatakan orang. Riana harus memilah, mana yang sebaiknya didengarkan, mana yang sebaiknya diabaikan. Joo Hwon bahkan mencontohkan dengan menutup kedua telinga Riana dengan telapak tangannya. “Kalau kau sudah telanjur mendengarnya, anggap saja kau salah dengar. Kalau itu masih terngiang di telingamu, kau harus menutupnya seperti ini. Jangan biarkan omong kosong seperti itu merusak pikiranmu,” (hlm 263).

Bagaimana akhir kisah Joo Hwon dan Riana, apakah akan berakhir dengan kisah Bahagia? Sebagai seorang santri yang menyukai K-pop, tentu Riana berkeinginan sampai ke Korea, negara asal suaminya. Akankah ia sampai sana?

Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari cerita ini. Sebuah cerita yang dituturkan bergaya remaja dan tak terkesan mengguruhi. Kosakata Korea yang tertebaran dalam novel ini tentu saja memperkaya wawasan para pembaca.

 

(2019)

Yeti Islamawati, S.S.
Yeti Islamawati, S.S. Jika aku punyai "impian", maka aku akan berusaha mencari jalan untuk mewujudkannya. Dalam rentang waktu tahun 2016 hingga tahun 2020 ini, alhamdulillah, ada lebih dari seratus karya saya, termuat di media massa, antara lain Harian Analisa, Harian Bernas, Harian Bhirawa, Harian Singgalang, Kabar Madura, Kedaulatan Rakyat, Koran Jakarta, Koran Pantura, Malang Post, Padang Ekspress, Radar Cirebon, Radar Madura, Radar Sampit, Radar Surabaya, Republika, Solopos, Tribun Jateng, Web Suku Sastra, Web Pergumapi, Majalah Pewara UNY, Majalah Hadila, Majalah Auleea, Majalah Bakti, Majalah Candra, Majalah Fatwa, serta Majalah Guru.

Posting Komentar untuk "Resensi Buku A Moment to Decide"