Resensi Novel Reem
Judul : Reem
Penulis : Sinta
Yudisia
Penerbit : Mizan
Cetakan : I, Agustus 2017
Tebal : 350 halaman
ISBN :
987-602-6716-11-8
Saat berada di Benteng Oudaya, Reem membayangkan di hadapannya ada seorang
pemuda, yang lolos dari pembantaian Rusafa, Damaskus, kemudian melarikan diri jauh
hingga ke semenanjung Iberia. Dialah Abdurrahman. Rasa sakit, kesepian,
kesunyian, kerinduan pada kampung halaman, serta dahsyatnya kematian menyalakan
kobar api kehidupan dalam dirinya. Abdurrahman membangun suatu sudut yang pada
akhirnya dikenal sebagai Ornament of the
Word, perhiasan dunia. Demikianlah, Cordoba atau Qurtubah, dengan ciri khas
air mengalir serta perpustakaan menjadi permata dunia Islam yang indah selain
Damaskus dan Baghdad.
Maroko dan Spanyol, terhubung oleh perbatasan. Terikat oleh sejarah.
Terjalin oleh darah pengelana yang melintas di atasnya. Tersambung oleh
ingatan-ingatan serta harapan indah bahwa suatu masa, Andalusia pernah menjadi
mercusuar dunia dan akan tetap menjadi permata untuk selamanya (halaman 289).
Reem Radhwa, perempuan cantik berdarah Palestina-Indonesa adalah seorang
mahasiswa studi sejarah. Pada suatu Aksi Palestina di Gedung Parlemen Maroko,
Reem membacakan puisi tentang Nasihat Seorang Ibu untuk anak-anak Palestina. Hadirin
terpana dan terpesona terpana, tak kecuali Kasim, pemuda Indonesia yang sedang
menempuh kuliah di Maroko. Untuk tugas akhir, Kasim membuat kajian tentang
trauma terhadap perkembangan budaya dan linguistik pada masyarakat korban
perang. Reem pun diburunya untuk menjadi salah satu subjek penelitian.
Perkenalan keduanya membawa pada diskusi panjang lebar seputar filosofi
hidup, sejarah, dan Palestina. Hati kasim bergetar sejak pertemuan pertama.
Reem yang mempunyai jiwa seni, lihai menulis dan pandai melukis. Rem yang
sangat cerdas, tenang, sekaligus pemberani, bahkan telah hafal al Quran sejak
usia 11 tahun.
Cerita novel ini memang sangat romantis. Namun bukan kekedar roman
picisan. Kisah romantis yang dibalut nilai sejarah. Sarat pengetahuan tentang
kejayaan kebudayaan Islam di masa lampau. Ceritanya sesekali ditingkahi kisah
lucu Alya, adik Kasim dan Ilham sahabat karibnya.
Perjalanan cinta mereka tidaklah mulus. dr Maher, ayah Reem sejak awal
memberikan penolakan secara tegas. Kasim dilarang mendekati Reem yang hanya
akan mengingatkan Reem tentang Palestina. Padahal dr. Maher sendiri masih belum
menerima kepergian istrinya yang begitu cepat di Palestina.
Masalah tak kalah pelik ketika Karim dan Alya diminta secara tiba-tiba
oleh orang tuanya untuk pulang kembali ke Indonesia. Karim ternyata dijodohkan
dengan Alya yang ternyata bukan adik kandungnya demi menyelamatkan perusahaan.
Masalah meruncing ketika Ilham merasa Karim telah membohonginya, padahal Karim
tahu pasti bahwa Ilham menyukai Alya bahkan hendak dilamar.
Sementara itu, Reem berjuang dengan penyakit kanker rahim yang
dideritanya. Kesehatannya memburuk, hingga akhirnya rahim Reem diangkat. Reem
kuat menjalani hari-hari beratnya dengan lebih sering shalat dan berinteraksi
dengan Al Quran. Namun ada yang hilang di hati Reem. Bayang Kasim selalu hadir.
“Pertemuan kita adalah anugerah. Dan, aku bersyukur, memiliki kebijaksanaan
lebih dalam memandang kehidupan. Juga, kematian. Sungguh, Izrail menyapa
seseorang bukan berdasar usia atau penyakitnya,” (halaman 349).
Pada sebuah titik, dr Maher tahu, bahwa Reem membutuhkan seseorang untuk
menguatkannya. Seseorang yang sama-sama mencintai Palestina. Pembaca pasti akan
penasaran dengan ending cerita ini.
Sinta Yudisia sangat piawai dalam melukiskan detail latar, tidak sekedar
tempelan. “Gedung Parlemen Maroko terletak di Rabat, tepat di tengah jalan
kembar Muhammad Khamis. Bangunan utama didominasi warna cokelat kuning emas,
dengan pilar-pilar tinggi warn asenada. Aksen merah menyala menghiasi dinding
bangunan, tegas dan berani. Bangunan lantai dua memiliki tujuh jendela bersar
di lantai atas dengan tirai putih mutiara tersibak. Tiga bendera merah Maroko
berkibar gagah: satu di atap, dua di sisi kiri dan kanan jalan setapak. Lambang
bintang di tengah berwarna hinjau tua, bersudut lima membentuk pentagram (halaman
25). Tak ayal lagi karena penulisnya pernah ke sana.
Saat menggambarkan bangunan kampus, “Bata
kuning berpadu pualam yang dipahat dengan pola berukir, pilar kembar di kanan
dan kiri. pintu masuk kayu, berbentuk anyaman seperti motif pada permadani Beni
Ourain, menempel pada kaca-kaca hingga cahaya tetap berlimpah masuk. Lentera
besi penuh ornamen tergantung cantik di tepi dinding (halaman 60).
Pembaca juga akan dimanjakan dengan paparan
tentang Fez. Kota ini memiliki 5617 lorong. Dulu lorong-lorong ini merupakan
jalan rahasia. Bangunan-bangunan menjulang, terhubung dengan lorong-lorong, pintu
raksasa dan dinding beton. Pilar, minaret,
kubah, zillij, masih tetap
dipertahakan pada bangunan madrasah yang menyerupai museum. Menyiratkan pesan
bahwa dahulu kala, para pelajar madrasah bukan hanya digembleng keras menimba
ilmu serta menghasilkan tulisan, tetapi juga dihibur oleh keindahan arsitektur
di area belajar dan area ibadah.
Novel ini juga bertabur istlah Maroko yang akan
memperkaya wawasan pembaca. Sebut saja karmush,
rubu’dijaj, zillij, djellaba, briwat, libzar, skinjbir, riad. Selain juga bahasa Perancis karena memang
banyak Masyarakat Maroko menggunakannya. Sebuah novel romantis berbalut sejarah
yang cocok di baca oleh siapa saja.
(Termuat di Kabar Madura, 12 Desember 2017)
(Termuat di Kabar Madura, 12 Desember 2017)
Posting Komentar untuk "Resensi Novel Reem"