Resensi Buku Dia adalah Kakakku
Dedikasi Seorang Kakak kepada Adik-adiknya
Judul : Dia adalah Kakakku
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Republika
Cetakan : 2018
Tebal : iv + 394 halaman
ISBN : 978-602-5734-37-3
“Jika
ada yang bertanya, siapa yang paling penting dalam hidupnya. Jika ada yang
bertanya, siapa? Maka itu sungguh adalah Kak Laisa,” (halaman122).
Di balik kesuksesan seseorang, pastilah
ada yang berkontribusi di belakangnya. Laisa adalah seorang kakak yang total dalam
mendukung adik-adiknya dalam
memeluk mimpi-mimpi mereka.
Kasih sayangnya jauh melampaui
perkiraan adik-adiknya. Sewaktu kecil dalam asuhan kakaknya, mereka lebih
memandang Laisa sosok kakak yang galak lagi cerewet, selalu meneriakkan kerja
keras, kerja keras, dan kerja keras.
Ketika mendapat
kabar bahwa kakak kesayangan mereka kritis, serta merta keempat adiknya
memastikan diri untuk segera pulang. Melupakan segala aktivitas dan kesibukan,
sepenting dan segenting apa pun itu untuk segera pulang. Demi kakaknya. “Ya
Allah, sungguh sejak kecil ia menyimpan semuanya sendiri. Sungguh. Demi
adik-adiknya. Demi kehidupan mereka yang lebih baik. Ia rela melakukannya.
Tapi, sepertinya semua sudah usai. Waktunya sudah selesai. Tak lama
lagi,”
(halaman 2).
Setelah
sekian tahun
berlalu, tak ada satu pun adiknya yang mendendam atas sikap keras kakaknya. Mereka selalu mengenang kakaknya dengan penuh takzim. Ialah kakak yang mengantar kesuksesan adik-adiknya.
Adik nomor satu, Dalimunte, namanya, terdaftar dalam 100 fisikawan paling
berbakat di dunia. Bahkan tengah melakukan Simposium Fisik Internasional.
Keahliannya dimulai ketika ia berhasil membuat kincir angin setinggi 5 meter
sewaktu masih kanak-kanan. Bahkan, berhasil meyakinkan penduduk membuat lima
kincir aingin untuk memompa air dari sungai ke perkampungan tentu saja dengan
dukungan Laisa .
Tentu, Dalimunte
tak akan melupakan nasihat kakaknya, “Kau anak lelaki
Dalimunte! Anak lelaki harus sekolah! Akan jadi apa kau jika tidak sekolah?
Pencari kumbang di hutan sana seperti orang lain di kampung ini? Penyadap damar? Kamu
menghabiskan seluruh masa depanmu di kampung ini? Setiap tahun berladang dan
berharap hujan turun teratur? Setiap tahun berladang hanya untuk cukup makan?
Kau mau setiap tahun hanya makan ubi gadung setiap kali hama belalang menyerang
ladang? Hah, mau jadi apa kau, Dalimunte?” (halaman 67-86).
Wibisono dan
Ikanuri, adik nomor dua dan tiga. Keduanya saat mendapat kabar ak Laisa sakit
tengah menuju Roma, Italia untuk presentasi dalam rangka ekspansi pabrik kecil
mereka. Mereka yang dulu terkenal dengan nekat, bandel, dan keras kepala kini
sedang menyelesaikan tender pembuatan sasis salah satu mobil balap tersohor
produksi Italia. Ikanuri dan Wibisana mengenang masa kecil saat bersama Laisa. Tiba-tiba ia
mengingat kesalahan mereka yang bahkan tak bisa dimaafkan oleh mereka sendiri lantaran pernah mengatakan bahwa Laisa bukan kakak
kandungnya. Laisa
sedih, karena memang demikian adanya. Ia hanya kakak tiri.
“Ikamuri,
Wibisana, suatu saat nanti kalian akan melihat betapa hebatnya kehidupan ini.
Betapa indahnya kehidupan di luar sana. Kalian akan memiliki kesempatan itu, yakinlah….
Kakak berjanji akan melakukan apa pun demi membuat semua itu terwujud…tapi
sebelum hari itu tiba, sebelum masanya datang, dengarkan Kakak, kalian harus
rajin sekolah, rajin belajar, dan bekerja keras. Bukan karena hanya demi Mamak yang sepanjang hari
terbakar matahari di ladang. Bukan karena itu. Tapi Ikanuri, Wibisana,
Dalimunte, kalian harus selalu kerja keras, kerja keras, kerja keras, karena
dengan itulah janji kehidupan yang lebih baik akan berbaik hati datang
menjemput,” (halaman 150-151).
Yashinta, si bungsu
yang paling dekat dengan Laisa. Ia seorang team leader kelompok
penelitian kecil burung dan mamalia endemik. Menjadi peneliti dari Lembaga Penelitian Konservasi Nasional di Bogor merangkap
koresponden foto Majalah National
Geographic. Tentu semua berawal dari ketika
Yahinta kecil menyaksikan berang-berang di kedalaman hutan ditemani oleh Laisa.
Lembah
Lahambay menjadi saksi pengorbanan Laisa demi adik-adiknya. Perjuangan Laisa sepanjang hayat,
“Tidak hanya hari itu Laisa melakukannya. Sungguh tidak. Ia melakukannya
berkali-kali sepanjang umurnya. Demi keempat adik-adiknya,” halaman 101.
Meski
apa yang tertulis di buku ini hanyalah fiksi, apa yang dilakukan Laisa dalam mendidik adik-adiknya dapat dipraktikkan dalam kehidupan nyata. Sebuah cerita yang menggugah siapa saja yang
membacanya.
Yeti Islamawati, S.S. alumni Universitas Negeri
Yogyakarta.
Posting Komentar untuk "Resensi Buku Dia adalah Kakakku"