Resensi Buku Angan Senja Senyum Pagi
Sebuah Novel yang Memadukan Matematika dan Musik
Judul : Angan Senja dan Senyum Pagi
Penulis : Fahd Pahdepie
Penerbit : PT Falcon
Cetakan : Pertama, Maret 2017
Tebal :
353 halaman
ISBN : 978-602-60514-5-5
“Musik bukan cuma soal pola dan simetrisitas, Ia bukan
sekedar persamaan persamaan. Musik juga tentang kejutan-kejutan. Tentang
imajinasi yang tak terbatas. Suatu, yag luar biasa, juga terdapat dalam
matematka. Keindahan matenatika juga ternyata tidak terletak pada kepastian dan
batasan-batasannya. Matematika mengenal konsep ketakterbatasan, infinity.”
(halaman 245)
Angan Senja, seorang genius matematika sekaligus
mengusai musik. Baginya, “Musik adalah gabungan nada-nada yang menciptakan
kemungkinannya sendiri. Musik tercipta dari getaran nada. Getaran menciptakan
frekuensi... Frekuensi selalu bisa dihitung, meski angka-angkanya tak selalu
masuk akal.” (halaman 2-3)
Angan Senja mendapatkan kabar duka bahwa ibunya yang
tinggal di Semarang meninggal dunia. Saat masuk ke kamar almarhum ibunya, Angan
Senja mendapati sebuah foto yang mengingatkan pada kejadian belasan tahun lalu
yang sudah terkunci dalam memorinya. Kenangan tentang seorang perempuan bernama
Senyum Pagi. “Foto itu terasa sambaran kilat yang menyerang tanpa aba-aba.
Semua ingatan tentang perempuan itu tiba-tiba menguasai dirinya. Rambut itu.
Hidung itu. Alis itu. Senyum itu. Pagi.” (halaman 29)
Sementara itu, di belahan tempat yang berbeda, seorang
perempuan muda sedang menyaksikan resital anak gadisnya, Embun 13 tahun. Dialah
Senyum Pagi. Seorang single mother setelah tujuh tahun sebelumnya suaminya,
yang berprofesi sebagai musisi, meninggal dunia. Darah musik merasuk begitu
kuat pada diri Embun, tak heran dia menjadi pianis handal di usianya yang masih
belia.
Angan mendapatkan surat wasiat dari ibunya yang
sesungguhnya menjadi beban hatinya. Ibunya memilihkan gadis yang selama ini
telah merawatnya untuk menjadi pendamping hidup Angan. Bagi Angan, cintanya
telah terkubur dalam waktu. Namun Angan tetap berusaha memenuhi keinginan ibunya.
Angan pun mencoba mengenal Dini, seorang gadis pintar tetapi lugu oleh
keterbatasan. Angan berusaha memantapkan diri dan meyakini bahwa Dini adalah
wanita pilihan ibunya yang akan membuatnya bahagia.
Cerita selanjutnya beralih pada kejadian 17 tahun yang
lalu. Sepasang remaja bernama yang menyukai simbol infinity. “Angan
tersenyum sambil menyilangkan dua telunjuk di dadanya, lalu menyentuh
masing-masing ujung dari telunjuk itu dengan dua ibu jarinya. Membentuk angka
delapan yang melintang, membentuk simbol ketakterbatasan, infinitas” (66)
Hubungan Angan Senja dan Senyum Pagi keduanya terbingkai dalam matematika dan
musik. Pagi pernah berkata, “Aku tahu lagu bagus sejak dari nada pertamanya.
Aku tahu bagus bahkan sebelum liriknya dinyanyikan. Mungkin seperti kamu suka
angka-angka dan hitungan matematika, kamu menikmatinya begitu saja kan? Tanpa
tahu kenapa. Bedanya, mungkin kalau aku pakai perasaan, kamu pakai logika.
(halaman 80) Kemudian sesuatu hal memisahkan keduanya sekaligus menggoreskan
mendung pada hati keduanya atas masa lalu yang perah diupayakan oleh mereka
berdua.
Di suatu persimpangan hidup, keduanya kembali bertemu.
“Angan memerhatikan wajah Pagi. Wajah itu, wajah yang pertama kali ia lihat
belasan tahun lalu dan membuatnya tak bisa tidur semalaman, wajah yang entah
bagaimana diciptakan Tuhan dengan alis yang sempurna, hidung yang sempurna,
bibir yang sempurna” halaman 227.
Terlepas dari beberapa salah sebut nama, novel ini
layak dibaca dan menginspirasi. Kisah yang terjalan dalam novel ini tidak
terduga dan gaya bahasanya membuat enggan untuk meletakkan novel hingga kata
terakhirnya. Selamat untuk Fahd Pahdepie.
Novel ini
mengajarkan bahwa bahagia itu perlu diupayakan, “Pada waktunya,
semua orang akan bahagia dengan jalannya sendiri-sendiri. Tinggal kita mau
mengambil langkahnya atau tidak.” (200)
Diresensi Yeti Islamawati, alumni
Universitas Negeri Yogyakarta
Posting Komentar untuk "Resensi Buku Angan Senja Senyum Pagi"