Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Belajar Bijak dari Sejarah Perang Diponegoro

















Judul : Sang Pangeran dan Janissary Terakhir

Penulis : Salim A. Fillah

Penerbit : Pro-U Media

Cetakan : Pertama, 2019

Tebal : 631 halaman

ISBN : 978-623-7490-06-7




Di balik suatu kejayaan dan kemenangan, tersimpan sisi lain yang mungkin tidak diperkirakan oleh para pelaku sejarahnya. (hlm. 141)


Untuk menjadi bangsa yang besar, perlu mengetahui sejarah masa lalu. Siapa yang tak mengenal sejarah mengenai Perang Diponegoro? Perang yang dalam kurun waktu1825-1830 memakan korban 200.000 nyawa orang Jawa. Apa yang didapatkan dari bangku sekolah, tentu saja tak sedetail dalam buku ini.


Salim A. Fillah hadir dengan nuansa baru. Penulis yang biasanya hadir dalam buku nonfiksi kini memulai debutnya di bidang fiksi. Tak tanggung-tanggung, novel perdananya ini setebal 631 halaman. Sedikit mengherankan ketika novel Sang Pangeran dan Janissary ini diterbitkan oleh Pro-U Media, mengingat sepak terjangnya selama ini tak pernah menerbitkan buku fiksi. Novel ini didapuk sebagai pembuka Tetralogi Sang Pangeran, berikutnya akan ada cerita Sunan Kalijogo, Sultan Agung Hanyokrokusumo, dan Sultan Hamengkubuwono I.


Porsi cerita tentang para Janissary: Nurkandam Pasha, Katib Pasha, Murad, dan Orhan, justru lebih banyak. Penulis mungkin memang mengusung sebuah maksud bahwa persaudaraan sesama muslim itu tak mengenal batas teritorial. Hal tersebut diperkuat dengan kisah mengenai “utang sejarah” yang baru akan ditengarai lunas kalau Daulah Turki Utsmaniyah membantu Nusantara berjihad melawan orang-orang kafir sampai mereka terusir dari seluruh pulau di Nusantara. Rupanya kebijakan Pemerintahan Istambul menutup Pasar Rempah Konstantinopel dari pedagang-pedagang Eropa menjadi pemicu ekspedisi mencari rempah melalui slogan gold, glory, gospel. Hal inilah menjadi cikal bakal penjajahan di Nusantara.


Sebagai novel yang bercerita peperangan, tentu pembaca berharap ada banyak hiruk pikuk dan hebring di medan laga. Seperti saat menyimak kisah duel pada novel Pulang dan Pergi karya Tere Liye. Namun, sayangnya tidak begitu nampak. Novel ini lebih banyak menguliti tentang kepribadian Pangeran Diponegoro yang memang sangat memesona. Diponegoro sangat dicintai rakyatnya. Terbukti para pengikutnya sangat loyal. “Kami bersama Anda, Kanjeng Pangeran! Pejah gesang fi sabilillah,” (hlm 21).


Novel Sang Pangeran dan Janissary Terakhir mengajarkan nilai hidup yang bijaksana. Dalam perang sering hanya dibahas mengenai siapa yang menang dan yang kalah. Tidak demikian dalam novel ini. “Kekalahan itu ketika kita ditinggalkan Gusti Allah meskipun kita menang perang ataupun banyak kawan serta pengikut. Sebaliknya, yang disebut kemenangan adalah tetap bersama Gusti Allah meskipun kita tinggal sendirian, atau bahkan biasa dalam perjuangan,” (hlm. 443).


Dalam novel ini juga bertebaran istilah-istilah dalam kerajaan yang akan memperluas wawasan pembaca. Misalnya saja tentang sejarah jalan yang sangat melegenda di Yogyakarta, yakni Jalan Malioboro. Masyarakat agaknya memahami pesan jalan itu sebagai “Malih Oboro”, yakni jadilah engkau pelita.


Tak ada gading yang tak retak, narasi dalam novel ini terasa berat karena banyak kalimat bersayap dan deskripsinya terlalu luas. Kalimat deskripsi yang detail sebenarnya bisa menjadi kelebihan novel, sebagaimana dilakukan oleh penulis kawakan Ahmad Tohari yang begitu piawai meracik deskripsi dengan ciamik. Pengarang mungkin memang bermasud untuk menggambarkan hal-hal sedetail-detailnya agar pembaca lebih memahami. Namun, sesuatu yang berlebihan, tentu saja tak baik, menjadikan novel ini kurang memikat dan terkesan bertele-tele .


Kekurangan lainnya adalah terlalu banyak tokoh dalam buku ini. Untungnya disiasati penulisnya dengan daftar nama tokoh di bagian awal. Terlepas dari adanya kekuangan, keberadaan novel ini patut diapresiasi mengingat tak terlalu banyak penulis yang memutuskan menggarap cerita sejarah. Terlebih penulisnya telah melakukan banyak riset sehingga latar memang tidak terkesan tempelan. Maktuub!






#semuabacasangpangeranplus
#semuabacasangpangeran
#sangpangerandanjanissaryterakhir




Yeti Islamawati, Peresensi berbagai buku, lebih dari 100 resensi termuat di media massa.






Yeti Islamawati, S.S.
Yeti Islamawati, S.S. Jika aku punyai "impian", maka aku akan berusaha mencari jalan untuk mewujudkannya. Dalam rentang waktu tahun 2016 hingga tahun 2020 ini, alhamdulillah, ada lebih dari seratus karya saya, termuat di media massa, antara lain Harian Analisa, Harian Bernas, Harian Bhirawa, Harian Singgalang, Kabar Madura, Kedaulatan Rakyat, Koran Jakarta, Koran Pantura, Malang Post, Padang Ekspress, Radar Cirebon, Radar Madura, Radar Sampit, Radar Surabaya, Republika, Solopos, Tribun Jateng, Web Suku Sastra, Web Pergumapi, Majalah Pewara UNY, Majalah Hadila, Majalah Auleea, Majalah Bakti, Majalah Candra, Majalah Fatwa, serta Majalah Guru.

3 komentar untuk "Belajar Bijak dari Sejarah Perang Diponegoro"

  1. Sukses b yeti...sangat menginspirasi...bangsa yg besar,bangsa yg menghargai para pahlawannya

    BalasHapus
  2. Luar biasa... sangat menginspirasi selamat dan sukses

    BalasHapus