Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Resensi Novel Bidadari untuk Dewa



Judul              : Bidadari untuk Dewa
Penulis            : Asma Nadia
Penerbit          : KMO Publishing
Cetakan          : Pertama, Oktober 2017
Tebal               : x + 528 halaman
Nomor ISBN    : 978-602-50441-06


Bidadari untuk Dewa merupakan sebuah novel based on a true story. Berkisah tentang perjalanan hidup Dewa Eka Prayoga, seorang entrepreneur muda yang telah jatuh bangun dalam membangun karier bisnisnya. Ia juga seorang business coach dan penulis buku-buku best seller yang melalui bukunya menginspirasi banyak orang.
Kisah yang dituturkan Asma Nadia, selaku penulis novel ini begitu menggugah jiwa dan menginspirasi. Tidak banyak sosok pemuda yang fenomenal seperti Dewa. Bagaimana tidak, di usianya 21 tahun, ia telah menghasilkan uang satu miliar. Selang beberapa waktu ia justru terjerembap dalam kubangan utang nyaris 8 miliar. Belum lagi ia terjerat penyakit langka GBS yang dalam kasusnya, delapan puluh persen berpeluang mengantarkannya ke kematian.
Dewa dan Haura akhirnya menikah mesti pada awalnya ibu dewa, seorang wanita pengagum mitologi Yunani, tidak merestui pernikahan mereka. Kata guru spiritual ibunya, Haura hanya akan membuat Dewa menderita dan jatuh terpuruk. Bagi Dewa, tak ada ketaatan dalam melanggar syariat. Memercayai “orang pintar” termasuk tindakan yang tidak dibenarkan dalam agama.
Pada hari kedelapan belas pernikahan mereka, Dewa menyadari kalau dirinya tertipu investasi bodong yang berkedok seorang ustaz. Padahal selain menanamkan investasi yang cukup besar, Dewa juga menggalang investasi dari investor lain. Akibatnya, ketika kasus penipuan muncul, Dewa menjadi sasaran pada investor. Semua menagih pengembalian uang. Bukan jumlah yang sedikit. Semua harta, rumah, mobil, tabungan ludes. Ternyata belum cukup untuk mengganti kekurangan utang. Sebetulnya Dewa bukanlah yang patut disalahkan, karena ia juga hanya korban. Namun investor cenderung gelap mata. Hidup mereka tak lagi sama, penuh tekanan, ancaman, intimidasi, bahkan serba kekurangan. “Kesedihan seperti mata pedang. Maka tikamkan dia padaku di mana pun ujungnya.” (halaman 233)
Haura tetap tegar berada di sisi suaminya. Apapun yang terjadi, Kalimat yang selalu menguatkan tatkala Dewa terpuruk, “Ayah tidak sendiri. Bidadari Ayah di sini.” (halaman 452). Dewa kuat karena bidadari selalu ada di sisinya. Tangan perempuan bermata bening dengan kelopak mata indah itu selalu menggenggamnya erat. Doa-doa tulusnya menembus langit.
Ketegaran Haura diuji lagi mana kala mertuanya semakin menyudutkannya sebagai perempuan pembawa sial. Sebuah tuduhan yang menyakitkan. Di tengah-tengah prahara, Allah menganugerahi kehamilan bagi Haura. Dalam kondisi hamil, Haura membuka usaha “Ceker Iblis” untuk menambal kebutuhan mereka. Tentu hanya sedikit yang bisa disisihkan untuk mengembalikan utang. Akan perlu waktu yang sangat panjang, bahkan sepanjang hidupnya untuk melunasi hutang hampir delapan miliar. Ibunya selalu menganggap Dewa Herkules. “Herkules memang tak selalu berhasil. Tapi putra Zeus itu selalu menemukan cara untuk bangkit dan kembali tegak, setiap kali dijatuhkan lawan.” (halaman 282).
Nama-nama tokoh dalam Mitologi Yunani banyak disebut dalam buku ini. Misalnya saja Zeus, Hera, Aphridite, Poseidon, Ares, Alkmene, Semele dan lain-lain. Kesemuanya menginspirasi karena oleh penulisnya selalu dikaitkan dengan bagaimana memandang mitologi tersebut secara bijak bestari. Tidak menerima seutuhnya tetapi meluruskan untuk tetap berada dalam koridor keimanan.
Ada banyak hikmah yang dapat diteladani dari novel Bidadari untuk Dewa. Pertama, hikmah Shafa dan Marwa. Yang penting bergerak, berusaha, dan berjuang. Biarkan matematika Allah yang bekerja. Jangan mengatakan “tidak mungkin”. Kedua, sesungguhnya solusi itu dekat. Setiap kita memiliki tongkat Musa tersendiri. Senjata yang sebenarnya sudah Allah berikan untuk menghadapi ujian hidup. Ketiga, detonator kebaikan, yaitu suatu kebaikan yang bahkan kecil akan sanggup menggerakkan kebaikan besar. Keempat, smalltest, tes-tes kecil mampu membuat seseorang menjadi besar, karena ia selalu berpikir, apa lagi yang masih bisa dilakukan. Kelima, kekuatan doa, dalam hal ini doa nabi Yunus. “Tiada Tuhan selain Engkau, Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zalim. Ketika diuji tidak protes, tetapi justru mengakui kalau diri banyak dosa, bukankah selain Rasulullah tak ada manusia tanpa salah? Keenam, pelajaran dari sebutir kelapa menjadi santan memerlukan usaha yang panjang, tidak instan. Sebutir kelapa setelah jatuh dibelah, lalu dikerok, diperas, digodok, baru kemudian menjelma menjadi santan yang siap digunakan. Ketujuh, semangat langit yang bermakna selalu berbaik sangka kepada Allah. Betapapun masalah menggunung dan dada terasa terimpit.
Sebuah buku yang cocok dibaca oleh siapa saja, terlebih para pebisnis karena di dalam buku ini banyak terserak ilmu bagaimana berwirausaha. Buku yang akan membuat pembacanya melangkah lebih baik.

Naskah asli resensi buku Bidadari untuk Dewa
dimuat di Koran Jakarta, 16 Maret 2018


Yeti Islamawati, S.S.
Yeti Islamawati, S.S. Jika aku punyai "impian", maka aku akan berusaha mencari jalan untuk mewujudkannya. Dalam rentang waktu tahun 2016 hingga tahun 2020 ini, alhamdulillah, ada lebih dari seratus karya saya, termuat di media massa, antara lain Harian Analisa, Harian Bernas, Harian Bhirawa, Harian Singgalang, Kabar Madura, Kedaulatan Rakyat, Koran Jakarta, Koran Pantura, Malang Post, Padang Ekspress, Radar Cirebon, Radar Madura, Radar Sampit, Radar Surabaya, Republika, Solopos, Tribun Jateng, Web Suku Sastra, Web Pergumapi, Majalah Pewara UNY, Majalah Hadila, Majalah Auleea, Majalah Bakti, Majalah Candra, Majalah Fatwa, serta Majalah Guru.

Posting Komentar untuk "Resensi Novel Bidadari untuk Dewa"