Cerpen "Perempuan Sawah"
Setengah betisku masih terbenam di lumpur saat mamak berlari-lari di
pematang sawah. Matahari terik, ia hanya mengenakan tudung sekenanya. Anak
rambutnya yang mulai putih berhamburan keluar tudung.
“Lestari!” Mamak menata napas sekaligus berusaha menyimpan roman ledakan
bahagia. Pemandangan langka.
Aku berjalan mendekat mamak melewati bibit padi yang baru selesai aku
tanam. Hijau, berderet-deret rapi membuat hatiku tenteram.“Ya, Mak?”
“Barusan orang utusan Pak Herman datang. Nanti malam Santoso mau ke melamarmu,
Nduk.”
Aku menghela nafas, Dasar laki-laki keras kepala umpatku.
“Ayo, cepat pulang. Bersiap-siap. Dandan yang cantik,”
Mamak berjalan bergegas sambil terus berbicara tentang bibit, bebet, dan
bobot. Katanya betapa beruntungnya aku dilamar Santoso yang memiliki itu semua.
Mamak berkali-kali berpaling ke arahku, mengingatkanku untuk bergegas.
“Lestari bersedia?”
Aku mengangkat muka. Semua wajah menoleh ke arah tempat dudukku. “Tapi
permintaan saya tetap sama, Pak. Saya tetap ingin tinggal di desa ini, menjadi
petani.
“Tak masalah. Lagi pula itu nanti-nanti bisa kita lihat
perkembangannya.”
Resmilah aku menjadi tunangan Santoso. Tanggal nikah sudah ditentukan. Anggap saja semua demi Mamak. Entah untuk ke berapa
kalinya bertanya kapan aku menikah. Begitu khawatir siapa yang mau dengan gadis
desa yang bekerja sebagai petani. Aku hanya mengingatkan mamak untuk tidak
perlu terlalu khawatir. Jodoh sudah diatur oleh Yang Mahakuasa. Cukup mendiamkan
mamak walaupun tak berapa lama lagi akan menanyakan pertanyaan serupa.
“Ayolah, Lestari. Tidak ada yang salah dengan kehidupan kota. Tidak
semua orangnya jahat seperti yang kau lihat di berita-berita itu.
“Di desa juga tak ada yang salah.”
“Lestari, jangan keras kepala.”
“Kau yang keras kepala! Bagimu sawah hanya berupa tanah kosong yang
ditanami. Tidakkah kamu berpikir lebih jauh?”
“Lestari, aku tak bisa memenuhi keinginanmu jika kamu memilih untuk
tetap tinggal. Aku tak suka kerja di sawah. Titik.”
Aku geming. “Karena kamu hanya melihat lumpurnya saja. Pergilah,
Santoso. Cintaku pada sawah jauh lebih dulu ada sebelum cintamu sempat menyisip
di hatiku.”
“Lestari?” Santoso ternganga, “Artinya kau membatalkan pernikahan kita?
Lagi pula kenapa harus kamu?”
“Bagaimana kalau semua orang berpikir dengan caramu? Niscaya tak ada lagi
yang mau tinggal di desa kita ini.
“Bahkan aku tidak peduli kalau seluruh desa ini berubah menjadi bangunan
dan tak menyisakan sawah,” suara Santoso semakin meninggi tetapi aku tahu ada
yang gugur di hatinya.
“Tempatmu bukan di sisiku, Santoso.” Batinku menjerit. Aku dan Santoko
berada di persimpangan jalan. Langit jingga menjadi saksi.
Tidakkah ia tahu, sawah mengajarkanku banyak hal? Menanam dimulai dari
pemilihan bibit terbaik yang mengajariku kewaspadaan. Proses merawat menawariku
kerja keras dan keteguhan. Lalu tentang hasil panen yang tidak menentu
membuatku bersiap dengan segala risiko. Masa panen saatnya memanjatkan rasa
syukur pada Allah.
Aku kembali turun ke sawah. Entah kenapa aku tak menangis. Aku menemukan
cintaku kembali pada padi yang siap dipanen. Sawahlah cintaku. yang mencukupi
hatiku.
Setengah kakiku masih terbenam di lumpur saat sosok lelaki berlari-lari
di pematang sawah. Matahari terik, lelaki itu berjalan tanpa beban dan tak
peduli pada panas yang menyengat.
Aku memberanikan diri mengangkat wajahku. Lelaki itu tersenyum lembut, “Menikahlah denganku, Lestari. Kita tidak
perlu ke mana pun. Tinggal bersamaku di desa ini hingga kita tua nanti.
Pada detik itu, aku tahu, kami sama-sama saling mencintai sawah. Akulah
perempuan sawah. Sawah telah menjadi darah dagingku sendiri.
Baca Juga
Catatan:
Filosofi perempuan sawah menurut saya, perempuan yang mencintai sawah juga
tanah tumpah darah sendiri. Tidak tergoda dengan hingar bingar dunia luar,
apalagi kerja di kota. Ketika sebagian orang merasa bangga dengan gelimang
hidup di kota besar, tokoh utama memilih bergaul dengan natural alam pedesaan.
(Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Pewara UNY, Vol. 18 No. 128, Juni 2019)
Asik bun baca cerpen, novel, komik. Sy hobi membaca. Dr sd kl bgn tidur mojok baca buku cerita anak. Sayangnya gk punya bakat menulis 😊
BalasHapusBagus cerpen nya seru di baca :)
BalasHapus